Apakah pernah terjadi wabah yang hampir sama dengan corona ini? Ada wabah penyakitmenular yang pernah terjadi di zaman para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum ‘Ajma’in. Dan Nabi menyebutkan dalam berapa hadits yang shahih tentang adanya tha’un. Disebutkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Apabila kalian mendengar ada penyakit tha’un di satu negeri, jangan kalian masuk ke negeri itu. Apabila terjadi di satu negeri dan kalian ada padanya, jangan keluar.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Jadi ini memang ada nashnya. Ketika ada wabah penyakit menular, orang yang di dalam itu nggak boleh keluar dan yang di luar nggak boleh masuk. Itu nash, dalil. Ini Muttafaqun ‘Alaihi. Jadi kata Nabi apabila mendengar wabah tha’un melanda satu negeri, maka janganlah kamu memasukinya. Dan apabila penyakit itu melanda satu negeri dan kalian sedang berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar.
Supaya apa? Supaya tidak menular kepada yang lain. Jadi isolasi itu aja, karantina ada. Sesuai dengan nash. Makanya disebutkan juga ketika terjadi -ini kisahnya panjang ini- dalam shahih Bukhari dan Muslim:
Kisahnya Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu ketika Umar pergi ke Syam dan kemudian disambut oleh komandan-komandan perang yang ada di Syam. Ketika Umar akan masuk, baru sampai di Saragh, dikabarkan di sana ada wabah. Kemudian Umar musyawarah dengan para sahabat. Dari mulai sahabat Muhajirin, sebagian mengatakan (untuk tetap) masuk, sedangkan sebagian mengatakan jangan. (Sahabat) Anshar demikian juga.
Kemudian terakhir Umar (bermusyawarah kepada orang-orang tua dari kalangan Muhajirin. Menurut yang tua, jangan masuk. Tidak lama kemudian setelah Umar setuju dengan pendapat yang tua-tua untuk tidak masuk, tidak lama kemudian datang Abdurrahman bin ‘Auf. Waktu itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah, “Kenapa Umar, kok kamu lari dari qadar Allah?” Kata Umar, “Kita lari dari qadar Allah menuju qadar Allah.” Padahal ini belum tahu nash. Tiba-tiba Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata, “Aku ada ilmu tentang itu.” Maka disampaikan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Apabila kalian mendengar ada wabah di suatu negeri, jangan kalian datang ke tempat itu, jangan masuk. Apabila terjadi di suatu negeri yang yang kalian ada padanya, jalan kalian keluar untuk lari di negeri itu.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Setelah mendengar penjelasan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, maka Umar memuji Allah, sesuai dengan nasihat orang-orang tua dari Muhajirin. Akhirnya Umar kembali ke Madinah. Hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Dan penyakit tha’un dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ‘Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, apa tha’un itu?” Nabi mengatakan:
أَنَهُ كَانَ عَذَاباً يَبْعَثُهُ اللَّه تَعَالَى عَلَى منْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ تعالَى رحْمةً للْمُؤْمنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ في الطَّاعُون فَيَمْكُثُ في بلَدِهِ صَابِراً مُحْتَسِباً يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Bahwa tha’un itu ada yang Allah kirimkan kepada apa yang Allah kehendaki dari manusia ini. Tapi itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Dan tidaklah seorang hamba yang mengalami penyakit tha’un kemudian dia tinggal tetap di negerinya, tidak keluar, sabar dan mengharapkan ganjaran dari Allah dan dia meyakini bahwa tidak akan menimpa dia kecuali apa yang Allah sudah takdirkan bagi dia melainkan mainkan orang mukmin ini mendapatkan ganjaran seperti ganjaran orang yang mati syahid.” (Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
Dalam riwayat yang lain, dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan:
الطَّاعُونُ رِجْزٌ أَوْ عَذَابٌ عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Dulu tha’un itu sebagai siksaan dan adzab atas Bani Israil atau orang-orang sebelum kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, beliau memberikan definisi: Tha’un itu adalah virus yang mengenai tubuh, yaitu luka-luka yang keluar dari tubuh di siku atau di ketiak atau di tangan atau di jari-jari dan seluruh tubuh, bengkak-bengkak dan sakit yang sangat. Dan lukanya terasa panas melepuh, menjadi hitam sekitar bagian anggota tubuh atau hijau warnanya atau seperti warna merah lembayung keruh, jantung berdebar-debar dan muntah-muntah. Ini penjelasan Imam An-Nawawi.
Apakah corona itu sama dengan tha’un? Sebagian ulama mengatakan bahwa hampir sama, tapi jelas tidak sama. Antara sebab dan kejadiannya tidak sama. Tapi karena penyakit ini menular. Pada asalnya Nabi menyebutkan bahwa tidak ada penyakit menular.
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ
“Tidak ada penularan penyakit, tidak ada juga anggapan sial.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tapi Nabi menyebutkan (ketika ada sahabat yang berkata), “Ya Rasulullah, saya punya unta yang kudis dan yang lain sehat, ternyata unta ini, yang lain juga ikut kudis. Kata Nabi, “Tidak bisa unta itu dengan sendiri menularkan penyakit. Siapa yang pertama kali menyebarkan itu? Allah Rabbul ‘Alamin.”
Artinya adanya penyakit menular adalah dengan kehendak Allah. Kalau Allah tidak kehendaki, tidak terjadi. Pebuatan yang paling berbahaya adalah sihir. Bisa membunuh orang, matikan orang, membuat orang gila, menceraikan suami istri. Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 102, tapi Allah menyebutkan disitu tentang bahaya sihir:
وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ
“Dan tidak ada satu pun yang bisa membahayakan seorang pun juga kecuali dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah[2]: 102)
Artinya berjalan menularnya itu dengan izin Allah.