Categories: Artikel

Keutamaan Takbiratul Ihram Bersama Imam

Keutamaan membersamai imam dalam takbiraul ihram

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

“Barangsiapa salat berjamaah selama empat puluh hari dengan mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram) ikhlas karena Allah, akan dicatat baginya terbebas dari dua hal, yaitu terbebas dari api neraka dan terbebas dari sifat munafik.” (HR. Tirmidzi no. 241, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani)

Hadis yang mulia ini menjelaskan betapa besarnya pahala bagi siapa saja yang menjaga takbiratul ihram dan memberikan perhatian besar agar bisa senantiasa membersamai imam dalam takbiratul ihram dan tidak terluput darinya. Bukanlah maksud di atas bahwa seseorang membersamai takbiratul ihram bersama imam selama empat puluh hari, setelah itu berhenti. Akan tetapi, yang dimaksud adalah jika hal itu bisa dilakukan selama empat puluh hari, maka seseorang akan merasakan manis dan nikmatnya ibadah, hilanglah beban ketika beribadah, sehingga dia akhirnya bisa istikamah dan konsisten dalam kondisi seperti itu seterusnya. Tentunya dengan hidayah dan taufik dari Allah Ta’ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Dalam masa empat puluh hari, seseorang berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lainnya. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis di Ash-Shahihain, dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan di perut ibunya selama empat puluh hari. Kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu pula (empat puluh hari, pent.). Lalu menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya.” (Jaamiul Masaail, 6: 134)

Membersamai imam dalam takbiratul ihram adalah sunah yang ditekankan. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَلَّى لِلَّهِ

maksudnya, dia benar-benar ikhlas dari dalam hatinya, bukan karena riya ataupun karena sum’ah (ingin dilihat atau didengar oleh orang lain).

التَّكْبِيرَةَ الأُولَى

Maksudnya, takbiratul ihram bersama imam.

بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ

Maksudnya, dia terbebas dan selamat dari api neraka.

وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Maksudnya, di dunia dia akan terbebas dari beramal sebagaimana amal orang-orang munafik. Juga terbebas dari azab sebagaimana azab yang ditimpakan kepada orang-orang munafik ketika di akhirat.

Bagaimanakah para salaf menjaga takbiratul ihram bersama imam

Para ulama salaf sangat memperhatikan takbiratul ihram bersama imam ini, dan menempatkannya dalam kedudukan yang tinggi dan mulia.

Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullah berkata,

كان الأعمش قريبا من سبعين سنة لم تفته التكبيرة الأولى ، واختلفت إليه قريبا من ستين ، فما رأيته يقضي ركعة

“Dulu Al-A’masy rahimahullah hampir selama tujuh puluh tahun tidak pernah terluput takbir pertama (dalam salat jama’ah). Aku sering mondar-mandir ke tempat beliau sekitar enam puluh tahun. Dan aku tidak pernah melihatnya terluput satu rakaat sekali pun.” (Hilyatul Auliya’, 5: 49)

Ghassaan Al-Ghulabi rahimahullah berkata, “Anak laki-laki saudaraku, Bisyr bin Manshur, mengabarkan kepadaku, dia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat pamanku tertinggal dari takbiratul ihram (bersama imam).’” (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 360)

Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah tertinggal takbiratul ihram sejak lima puluh tahun. Dan aku tidak pernah melihat tengkuk orang lain ketika salat selama lima puluh tahun.” (Hilyatul Auliya’, 2: 163)

Hal ini karena beliau selalu berada di shaf pertama.

Muhammad bin Sama’ah rahimahullah berkata, “Aku tinggal selama empat puluh tahun, dan aku tidak pernah tertinggal dari takbiratul ihram bersama imam. Kecuali pada satu hari ketika ibuku meninggal dunia, maka aku tertinggal satu salat jamaah.” (Tarikh Baghdad, 3: 298, Siyar A’laam An-Nubalaa’, 10: 646)

Abu Daud rahimahullah berkata,

كَانَ إِبْرَاهِيمُ الصَّائِغُ رَجُلًا صَالِحًا، قَتَلَهُ أَبُو مُسْلِمٍ بِعَرَنْدَسَ، قَالَ: وَكَانَ إِذَا رَفَعَ الْمِطْرَقَةَ فَسَمِعَ النِّدَاءَ سَيَّبَهَا

“Ibrahim Ash-Shaigh adalah orang saleh. Dia dibunuh oleh Abu Muslim di ‘Arandas. ‘Atho` berkata, “Apabila dia mengangkat palu kemudian mendengar suara azan, maka ia meninggalkannya (untuk segera pergi ke masjid, pent.).” (Sunan Abu Dawud no. 3254)

Ibrahim At-Taimi rahimahullah berkata, “Jika Engkau melihat ada seseorang yang meremehkan takbiratul ihram bersama imam, maka bersihkanlah tanganmu darinya (jauhilah dia, pent.).” (Tarikh Baghdad, 4: 215, Siyar A’laam An-Nubalaa’, 5: 62)

Nasihat untuk para penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi)

Di antara wasiat yang berharga bari para penuntut ilmu adalah wasiat Imam Abu Hanifah rahimahullah ke salah seorang muridnya, yaitu Abu Yusuf rahimahullah,

“Jika muazin sudah mengumandangkan azan, bersegeralah menuju masjid, agar tidak ada orang awam yang mendahuluimu.” (Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 467, karya Ibnu Nujaim rahimahullah)

Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah berkata,

“Kakekku adalah seorang hamba yang saleh, semoga Allah Ta’ala merahmatinya dan menempatkannya di surga Firdaus. Beliau memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hal ini (yaitu membersamai imam ketika takbiratul ihram). Sejak kami mengetahui keadaannya, dia setiap hari masuk masjid sebelum azan salat Ashar. Demikian pula setiap kali salat Isya dia keluar (menuju masjid), demikian pula dia ke masjid untuk salat Subuh dan Zuhur.

Aku ingat bahwa beberapa penuntut ilmu bertanya kepada ayahku (yaitu Syaikh ‘Abdul Muhsin hafizhahullah), dan ketika itu kakekku juga hadir, tentang status kesahihan hadis tersebut.  Ayahku menjawab bahwa hadis tersebut sahih.

Lalu salah seorang di antara mereka mengatakan, “Siapa yang mampu melakukannya?”

Ketika kakekku keluar dari majelis tersebut, dan aku berjalan bersama kakekku, kakekku berulang kali mengatakan (dengan nada heran), “Siapa yang mampu melakukannya?”

Kakekku pun bertakbir karena heran ada perkataan semisal itu, lebih-lebih perkataan itu diucapkan oleh seorang penuntut ilmu agama (thalibul ‘ilmi).” (Ta’zhiim Ash-Shalaat, hal. 70)

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita hidayah dan taufik agar senantiasa menjaga salat dan bisa membersamai imam ketika takbiratul ihram. (***)

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat  hal. 68-70, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.

Sumber: https://muslim.or.id/59441-bagaimanakah-para-salaf-menjaga-takbiratul-ihram-bersama-imam.html