Categories: Artikel

Seputar Shalat Iedul Fithri

Makna ‘idul Fithri

Makna secara bahasa: ‘idul fitri terdiri dari dua kata yaitu (‘id) dan (fithri)

‘ Id secara bahasa artinya setiap hari yang di dalamnya ada perkumpulan. Diambil dari kata ” ‘aadayauudu ” artinya kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya. Adapula yang berpendapat bahwa Id diambil dari kata : ” Adat atau kebiasaan”, karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah ” ‘ayaada “. Bila dikatakan ” Id Muslimun ” maknanya : Mereka menyaksikan hari raya (Id) mereka. Ibnul A’rabi mengatakan : “Id dinamakan dengan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru” (Lisanul Arab 3/319)

Adapun Fithru/ Ifthaar” secara  bahasa artinya : Berbuka (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya “Hari Raya berbuka Puasa”. Yakni, kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa.

Adapun secara syari’at: Sering kali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah “Kembali kepada Fitrah”, Yakni : Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita.

Namun persangkaan mereka ini salah dari sisi bahasa maupun syariat, karena makna ‘idul fithri secara syari’at yaitu  Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa.

Sebagaimana sabda Nabi,” Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa,dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka.” (HR  Tirmidzi No. 693).

Hukum Shalat ‘Id

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat yaitu wajib bagi setiap individu (fardhu ‘ain),karena Nabi terus menerus mengerjakannya dan tidak pernah meninggalkan satukali pun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.

Sebagaimana dalam hadits ummu ‘Athiyah, beliau berkata,’ Nabi memerintahkan kami pada saat sholat ‘id agar mengeluarkan para gadis(yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu juga wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat,’ (HR Bukhari :324)

Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Ied jatuh pada hari Jum’at)[sebagaiman hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi no.1073]. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama’ah sejak disyari’atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Ied”(Nailul Authar” (3/382-383)).

Tempat Shalat Ied

Menurut sunnah yang selalu diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabat, tempat pelaksanaan shalat ‘id adalah di lapangan. Kecuali ada udzur seperti hujan maka boleh di masjid.

Syaikh Ahmad syakir dalam Ta’liq Sunan Tirmidzi 2/421-424 mengatakan,’Hadits-hadits shahih menunjukkan bahwa Nabi shalat hari raya di lapangan dan diteruskan oleh generasi setelahnya.

Waktu Shalat Ied

Yaitu ketika matahari naik setinggi tombak, dan sunahnya mempercepat sholat ‘idul adha agar manusia bersegera malaksanakan sesembelihan kurban dan mengakhirkan sholat ‘idul fithri agar manusia longgar dalam mengeluarkan zakat fithr. Adapun batas akhir waktunya adalah sesudah tergelincirnya matahari. (Zaadul Ma’ad 1/442)

Sifat Shalat Ied

  • Dua raka’at

Sebagaiman riwayat dari Umar, beliau berkata,’Shalat safar itu dua raka’at, shalat dhuha dua raka’at, shalat hari raya dua raka’at, sempurna tanpa dikurangi menurut lisan Muhammad,’.(Shahih HR ahmad 1/37)

  • Takbiratul Ihram, kemudian takbir tujuh kalai pada reka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua.

Dari Aisyah bahwasanya Rosululloh bertakbir pada shalat ‘idul fithri dan ‘idul adha pada reka’at pertama tujuh takbir dan pada raka’at kedua lima kali takbir selain dua takbir ruku’.(Irwa’ul Ghalil 3/107, no.639)

Inilah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya.(lihat Nailul Authar 284-286,

Syarhus sunnah 4/309)

  • Membaca doa di sela-sela takbir

Tidak ada penukilan dari nabi tentang bacaan di sela-sela takbir. Akan tetapi telah shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa bacaannya adalah pujian kepada Allah dan shalawat kepada nabi serta do’a, dan ini dibenarkan oleh sahabat Hudzaifah dan Abu Musa al-Asy’ari.(Irwa’ul Ghalil no. 642)

  • Membaca al-fatihah dan surat dengan suara keras.

Apabila telah selasai takbir henbaknya membaca al-Fatihah kemudian membaca surat secara keras, dan disunahkan membaca surat Qaf pada reka’at pertama dan al-Qomar pada reka’at kedua.(lihat HR Muslim No.891)

Atau membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah.(Lihat HR Muslim No 878)

Ibnul Qayyim mengatakan,’Telah shahih dari Nabi kedua bacaan tersebut dan tidak shahih selainn dua bacaan tersebut.’(zadul ma’ad 1/443)

  • Gerakan lainnya seperti gerakan sholat biasanya (tidak ada perbedaan)

Khotbah Hari Ied

Disyari’atkan ada khotbah setelah selesai sholat ‘id, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata,’Saya menyaksikan ‘id bersama Rosulullah, Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Mereka semua shalat lebih dulu sebelum khutbah,’(HR Bukhari No. 962).

Dan khutbah ‘id ini hanya sekali, bukan dua kali seperti khotbah jum’at.9lihat HR Tirmidzi 2/411)

Sunnah-sunnah Dalam Menghadiri shalat Hari Raya

  • Mandi

Memang tidak ada hadits yang shahih dari Nabi yang berkaitan dengan mandi sebelum shalat hari raya, namun terdapat beberapa atsar dari sebagian sahabat yang menunjukkan hal ini. Diantaranya ialah dari Abdullah bin Umarbahwasanya beliau mandi hari raya ketika hendak pergi ke lapangan.(irwa’ul Ghalil 1/176, lihat pula al-Umm 1/265)

  • Berpakaian Bagus

Ibnul Qoyyim berkata,’Nabi memakai pakaian terbagusnya untuk shalat hari raya. Beliau memiliki pakaian khususuntuk shalat hari raya dan shalat jum’at….’(zaadul ma’ad 1/441)

  • Makan sebelum sholat ‘idul fithri, dan tidak makan sebelum sholat ‘idul adha

Sebagaiman riwayat dari Buraidah, beliau berkata,’Nabi tidak keluar pada ‘idul fithri hingga makan terlebih dahulu. Adapun pada ‘idul adha beliau tidak makan hingga pulang dan makan dari daging kurban sembelihannya.’(Hasan, Riwayat Tirmidzi No.542)

  • Berjalan kaki

Dari Ali berkata,’Termasuk sunnah yaitu engkau keluar shalat hari raya dengan berjalan kaki.’ (Shahih Tirmidzi 1/164)

Hikmah disyari’atkannya berjalan kaki tatkala pergi ke lapangan untuk shalat ‘id ini banyak sekali, diantaranya ialah  lebih menyemarakkan syiar islam, merendahkan diri dan tidak sombong, menjalin kebersaman. Adapun kalau ada udzur seperti jauh, tua atau sakit, maka boleh berkendaraan.

  • Bertakbir

Berdasarkar riwayat dari Ibnu Abi Syaibah, beliau berkata,’ Nabi apabila pada hari raya ‘idul fithri, beliau bertakbir hingga sampai di lapangan dan melaksanakan shalat. Apabila selesai shalat maka beliau memutus takbirnya.’(lihat as-shahihah no.170)

Ucapat Selamat Hari Raya

Tentang ucapan selamat hari raya, sebagian orang megucapkannya kepada orang lain “Taqabbalallohu minna wa mingkum”, maka seperti itu boleh karena telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat. Jubair bin Nufair berkata,’Para sahabat Rasulullah apabila mereka salang berjumpa pada hari raya, sebagian yang lain mengucapkan ,’ “Taqobbalallohu minna wa mingkum”,(semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu_pen).(Fathul bari 2/446)

Dan para imam memberikan keringanan dalam masalah ini, seperti imam Ahmad dan yang lainnya (Lihat majmu’ Fatawa 24/253)

Jabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom

Memang berjabat tangan merupakan kebaikan. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan ucapan Rasulullah:“Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun pepohonan.” ( lihat Ash-Shahihah no. 526)

Amalan yang pertama kali dicontohkan oleh ahlul Yaman (penduduk Yaman) kepada penduduk Madinah ini biasa dilakukan di tengah masyarakat kita. Shahabat Al-Bara` bin ‘Azib berkata: “Termasuk kesempurnaan tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat tangan saudaramu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 968)

Berjabat tangan telah jelas kebaikannya. Namun bagaimana kalau laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, apakah suatu kebaikan pula? Tentu saja tidak!!! Walaupun menurut perasaan masyarakat kita, tidaklah beradab dan tidak punya tata krama sopan santun, bila seorang wanita diulurkan tangan oleh seorang lelaki dari kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak untuk menjabatnya. Dan mungkin lelaki yang uluran tangannya di-”tampik” itu akan tersinggung berat. Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si wanita. Padahal si wanita yang menolak berjabat tangan tersebut melakukan hal itu karena tahu tentang hukum berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Rasululloh sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda: “Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (lihat Ash-Shahihah no. 226)

Namun, mengingat tahun ini masih pandemi, hendaknya shalat ied dilaksanakan sesuai aturan dan himbauan pemerintah. Tetap patuhi prokes. Demikian, semoga bermanfaat. (***)

Penulis : Feri Abu Sahl