Kisah palsu ini tentang Ukasyah yang ingin mencambuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pembalasan.
Kisah ini banyak tersebar di media sosial tanpa ada keterangan tentang kualitas kesahihannya. Berikut saya kutip kisah tersebut langsung tanpa ada proses pengeditan:
Kisah ini terjadi pada diri Rasulullah SAW sebelum wafat.
Rasulullah SAW telah jatuh sakit agak lama, sehingga kondisi beliau sangat lemah.
Pada suatu hari Rasulullah SAW meminta Bilal memanggil semua sahabat datang ke Masjid. Tidak lama kmdn, penuhlah Masjid dg para sahabat. Semuanya merasa rindu setelah agak lama tidak mendpt taushiyah dr Rasulullah SAW.
Beliau duduk dg lemah di atas mimbar. Wajahnya terlihat pucat, menahan sakit yg tengah dideritanya.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Wahai sahabat2 ku semua. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan semua kepadamu, bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah satu2nya Tuhan yg layak di sembah?”
Semua sahabat menjawab dg suara bersemangat, ” Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kpd kami bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah satu2nya Tuhan yg layak disembah.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Persaksikanlah ya Allah. Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada mereka.”
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, dan setiap apa yg Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat.
Akhirnya sampailah kepada satu pertanyaan yg menjadikan para sahabat sedih dan terharu.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah. Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dg manusia.”
Ketika itu semua sahabat diam, dan dalam hati masing2 berkata: “Mana ada Rasullullah SAW berhutang dengan kita? Kamilah yang banyak berhutang kpd Rasulullah”.
Rasulullah SAW mengulangi pertanyaan itu sebanyak 3 kali.
Tiba2 bangun seorang lelaki yg bernama UKASYAH, seorang sahabat mantan preman sblm masuk Islam, dia berkata: “Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa”.
Rasulullah SAW berkata: “Sampaikanlah wahai Ukasyah”.
Maka Ukasyah pun mulai bercerita: “Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cambuk ke belakang kuda. Tetapi cambuk tsb tidak kena pada belakang kuda, tapi justru terkena pada dadaku, karena ketika itu aku berdiri di belakang kuda yg engkau tunggangi wahai Rasulullah”.
Mendengar itu, Rasulullah SAW berkata: “Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Ukasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yg sama.”
Dengan suara yg agak tinggi, Ukasyah berkata: “Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah.”
Ukasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian.
Sedangkan ketika itu sebagian sahabat berteriak marah pd Ukasyah. “Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah. bukankah Baginda sedang sakit..!?”
Ukasyah tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah SAW meminta Bilal mengambil cambuk di rumah anaknya Fatimah.
Bilal meminta cambuk itu dari Fatimah, kemudian Fatimah bertanya: “Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal?”
Bilal menjawab dg nada sedih: “Cambuk ini akan digunakan Ukasyah utk memukul Rasulullah”
Terperanjat dan menangis Fatimah seraya berkata: “Kenapa Ukasyah hendak pukul ayahku Rasulullah? Ayahku sdg sakit, kalau mau mukul, pukullah aku anaknya”.
Bilal menjawab: “Sesungguhnya ini adalah urusan antara mereka berdua”.
Bilal membawa cambuk tersebut ke Masjid lalu diberikan kepada Ukasyah.
Setelah mengambil cambuk, Ukasyah menuju ke hadapan Rasulullah.
Tiba2 Abu bakar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: “Ukasyah..! kalau kamu hendak memukul, pukullah aku. Aku orang yg pertama beriman dg apa yg Rasulullah SAW sampaikan. Akulah sahabtnya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku”.
Rasulullah SAW: “Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dg Ukasyah”.
Ukasyah menuju kehadapan Rasulullah.
Kemudian Umar berdiri menghalangi Ukasyah sambil berkata: “Ukasyah..! kalau engkau mau mukul, pukullah aku. Dulu memang aku tidak suka mendengar nama Muhammad, bahkan aku pernah berniat untuk menyakitinya, itu dulu. Sekarang tidak boleh ada seorangpun yg boleh menyakiti Rasulullah Muhammad. Kalau engkau berani menyakiti Rasulullah, maka langkahi dulu mayatku..!.”
Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW: “Duduklah wahai Umar. Ini urusan antara aku dg Ukasyah”.
Ukasyah menuju kehadapan Rasulullah, tiba2 berdiri Ali bin Abu Talib sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Dia menghalangi Ukasyah sambil berkata: “Ukasyah, pukullah aku saja. Darah yg sama mengalir pada tubuhku ini wahai Ukasyah”.
Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW: “Duduklah wahai Ali, ini urusan antara aku dg Ukasyah” .
Ukasyah semakin dekat dg Rasulullah. Tiba2 tanpa disangka, bangkitlah kedua cucu kesayangan Rasulullah SAW yaitu Hasan dan Husen.
Mereka berdua memegangi tangan Ukasyah sambil memohon. “Wahai Paman, pukullah kami Paman. Kakek kami sedang sakit, pukullah kami saja wahai Paman. Sesungguhnya kami ini cucu kesayangan Rasulullah, dengan memukul kami sesungguhnya itu sama dg menyakIiti kakek kami, wahai Paman.”
Lalu Rasulullah SAW berkata: “Wahai cucu2 kesayanganku duduklah kalian. Ini urusan Kakek dg Paman Ukasyah”.
Begitu sampai di tangga mimbar, dg lantang Ukasyah berkata: “Bagaimana aku mau memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini.”
Rasulullah SAW memang manusia terbaik. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat memapahnya ke bawah. Rasulullah didudukkan pada sebuah kursi, lalu dengan suara tegas Ukasyah berkata lagi: “Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju, Ya Rasulullah”
Para sahabat sangat geram mendengar perkataan Ukasyah.
Tanpa berlama-lama dalam keadaan lemah, Rasulullah membuka bajunya. Kemudian terlihatlah tubuh Rasulullah yg sangat indah, sedang bbrp batu terikat di perut Rasulullah pertanda Rasulullah sedang menahan lapar.
Kemudian Rasulullah SAW berkata: “Wahai Ukasyah, segeralah dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Nanti Allah akan murka padamu.”
Ukasyah langsung menghambur menuju Rasulullah SAW, cambuk di tangannya ia buang jauh-jauh, kemudian ia peluk tubuh Rasulullah SAW seerat-eratnya. Sambil menangis se-jadi2nya,
Ukasyah berkata: “Ya Rasulullah, ampuni aku, maafkan aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dg tubuhmu. Seumur hidupku aku ber-cita2 dapat memelukmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sungguh aku takut dengan api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah…”
Rasulullah SAW dg senyum berkata: “Wahai sahabat2ku semua, kalau kalian ingin melihat ahli Surga, maka lihatlah Ukasyah..!”
Semua sahabat meneteskan air mata. Kemudian para sahabat bergantian memeluk Rasulullah SAW.
…..
Takhrij kisah ini:
Kisah ini diterjemahkan bebas dari hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy –rahimahullah– (w.360H) dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir (3/58-64) no.2676, dan diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy –rahimahullah– (w.430H) dalam kitabnya “Hilyatul Auliyaa’ (4/73), dan Ibnu Al-Jauziy –rahimahullah– (w.597H) dalam kitabnya Al-Maudhu’aat [kumpulan hadits-hadits palsu] (1/295-301), keduanya melalui jalur imam Ath-Thabaraniy:
قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْبَرَاءِ، ثنا عَبْدُ الْمُنْعِمِ بْنُ إِدْرِيسَ بْنِ سِنَانٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا} [النصر: 2]، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا جِبْرِيلُ نَفْسِي قَدْ نُعِيَتْ» . قَالَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: الْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى، ولَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى. فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالًا أَنْ يُنَادِيَ بِالصَّلَاةِ جَامِعَةً، فَاجْتَمَعَ الْمُهَاجِرُونَ وَالْأَنْصَارُ إِلَى مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ صَعِدَ الْمِنْبَرَ، فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ خَطَبَ خُطْبَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَبَكَتِ الْعُيُونُ، ثُمَّ قَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ أَيُّ نَبِيٍّ كُنْتُ لَكُمْ؟» فَقَالُوا: جَزَاكَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ خَيْرًا؛ فَلَقَدْ كُنْتَ بِنَا كَالْأَبِ الرَّحِيمِ، وَكَالْأَخِ النَّاصِحِ الْمُشْفِقِ، أَدَّيْتَ رِسَالَاتِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وأَبْلَغْتَنَا وَحَيَهُ، وَدَعَوْتَ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكِ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ، فَجَزَاكَ اللهُ عَنَّا أَفْضَلَ مَا جَازَى نَبِيًّا عَنْ أُمَّتِهِ. فَقَالَ لَهُمْ: “مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ، أَنَا أَنْشُدُكُمْ بِاللهِ وبِحَقِّي عَلَيْكُمْ، مَنْ كَانَتْ لَهُ قِبَلِي مَظْلَمَةٌ فَلْيَقُمْ فَلْيَقْتَصَّ مِنِّي. فَلَمْ يَقُمْ إِلَيْهِ أَحَدٌ“، فَنَاشَدَهُمُ الثَّانِيَةَ، فَلَمْ يَقُمْ إِلَيْهِ أَحَدٌ، فَنَاشَدَهُمُ الثَّالِثَةَ: “مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ أَنْشُدُكُمْ بِاللهِ وبِحَقِّي عَلَيْكُمْ مَنْ كَانَتْ لَهُ قِبَلِي مَظْلَمَةٌ فَلْيَقُمْ فَلْيَقْتَصَّ مِنِّي قَبْلَ الْقِصَاصِ فِي الْقِيَامَةِ”.
فَقَامَ مِنْ بَيْنِ الْمُسْلِمِينَ شَيْخٌ كَبِيرٌ يُقَالُ لَهُ عُكَّاشَةُ، فَتَخَطَّى الْمُسْلِمِينَ حَتَّى وَقَفَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي، لَوْلَا أَنَّكَ ناشَدْتَنَا مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى مَا كُنْتُ بِالَّذِي يُقْدِمُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ هَذَا، كُنْتُ مَعَكَ فِي غَزَاةٍ، فَلَمَّا فَتَحَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْنَا وَنَصَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وكُنَّا فِي الِانْصِرَافِ حَاذَتْ نَاقَتِي نَاقَتَكَ فَنَزَلْتُ عَنِ النَّاقَةِ، وَدَنَوْتُ مِنْكَ لِأُقَبِّلَ فَخِذَكَ، فَرَفَعْتَ الْقَضِيبَ فَضَرَبْتَ خَاصِرَتِي، وَلَا أَدْرِي أَكَانَ عَمْدًا مِنْكَ، أَمْ أَرَدْتَ ضَرْبَ النَّاقَةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أُعِيذُكَ بِجِلَالِ اللهِ أَنْ يَتَعَمَّدَكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالضَّرْبِ، يَا بِلَالُ انْطَلِقْ إِلَى مَنْزِلِ فَاطِمَةَ وَائْتِنِي بِالْقَضِيبِ الْمَمْشُوقِ».
فَخَرَجَ بِلَالٌ مِنَ الْمَسْجِدِ وَيَدُهُ عَلَى أُمِّ رَأْسِهِ، وَهُوَ يُنَادِي: هَذَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي الْقِصَاصَ مِنْ نَفْسِهِ. فَقَرَعَ الْبَابَ عَلَى فَاطِمَةَ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ رَسُولِ اللهِ نَاوِلِينِي الْقَضِيبَ الْمَمْشُوقَ. فَقَالَتْ فَاطِمَةُ: يَا بِلَالُ وَمَا يَصْنَعُ أَبِي بِالْقَضِيبِ وَلَيْسَ هَذَا يَوْمَ حَجٍّ وَلَا يَوْمَ غَزَاةٍ؟ فَقَالَ: يَا فَاطِمَةُ مَا أَغْفَلَكِ عَمَّا فِيهِ أَبُوكِ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوَدِّعُ الدِّينَ وَيُفَارِقُ الدُّنْيَا، وَيُعْطِي الْقِصَاصَ مِنْ نَفْسِهِ. فَقَالَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: يَا بِلَالُ وَمَنْ ذَا الَّذِي تَطِيبُ نَفْسُهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ يَا بِلَالُ فَقُلْ لِلْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ يَقُومَانِ إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فَيَقْتَصُّ مِنْهُمَا، وَلَا يَدَعانِهِ يَقْتَصُّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَدَخَلَ بِلَالٌ الْمَسْجِدَ، وَدَفَعَ الْقَضِيبَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَدَفَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقَضِيبَ إِلَى عُكَّاشَةَ، فَلَمَّا نَظَرَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا إِلَى ذَلِكَ، قَامَا فَقَالَا: يَا عُكَّاشَةُ هَذَانِ نَحْنُ بَيْنَ يَدَيْكَ فَاقْتَصَّ مِنَّا، وَلَا تَقْتَصَّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «امْضِ يَا أَبَا بَكْرٍ وَأَنْتَ يَا عُمَرُ، فَامْضِ فَقَدْ عَرَفَ اللهُ مَكَانَكُمَا ومَقامَكُمَا».
فَقَامَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ: يَا عُكَّاشَةُ أَنَا فِي الْحَيَاةِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا تَطِيبُ نَفْسِي أَنْ يُضْرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَذَا ظَهْرِي وَبَطْنِي، اقْتَصَّ مِنِّي بِيَدِكَ وَاجْلِدْني مِئَةً، وَلَا تَقْتَصَّ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عَلِيُّ اقْعُدْ فَقَدْ عَرَفَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مَقَامَكَ ونِيَّتَكَ».
وَقَامَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَقَالَا: يَا عُكَّاشَةُ أَلَيْسَ تَعْلَمُ أَنَا سِبْطَا رَسُولِ اللهِ؟ فَالْقِصَاصُ مِنَّا كَالْقِصَاصِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ لَهُمَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْعُدَا يَا قُرَّةَ عَيْنِي، لَا نَسِيَ اللهُ لَكُمَا هَذَا الْمُقَامَ». ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا عُكَّاشَةُ اضْرِبْ إِنْ كُنْتَ ضارِبًا» . فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ضَرَبْتَني وَأَنَا حاسِرٌ عَنْ بَطْنِي. فَكَشَفَ عَنْ بَطْنِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَاحَ الْمُسْلِمُونَ بِالْبُكَاءِ، وَقَالُوا: أَتُرَى عُكَّاشَةُ ضَارِبٌ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَلَمَّا نَظَرَ عُكَّاشَةُ إِلَى بَيَاضِ بَطْنِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّهُ الْقَبَاطِيُّ، لَمْ يَمْلِكْ أَنْ كَبَّ عَلَيْهِ وَقَبَّلَ بَطْنَهُ، وَهُوَ يَقُولُ: فِدَاءٌ لَكَ أَبِي وَأُمِّي، وَمَنْ تُطِيقُ نَفْسُهُ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْكَ؟ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِمَّا أَنْ تَضْرِبَ، وَإِمَّا أَنْ تَعْفُوَ».
فَقَالَ: قَدْ عَفَوْتُ عَنْكَ رَجَاءَ أَنْ يَعْفُوَ اللهُ عَنِّي فِي الْقِيَامَةِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا الشَّيْخِ».
فَقَامَ الْمُسْلِمُونَ، فَجَعَلُوا يُقَبِّلُونَ مَا بَيْنَ عَيْنَيْ عُكَّاشَةَ، وَيَقُولُونَ: طُوبَاكَ طُوباكَ، نِلْتَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى وَمُرَافَقَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ….
Komentar ulama tentang kisah ini:
Ibnu Al-Jauziy –rahimahullah– berkata:
هَذَا حَدِيث مَوْضُوع محَال كافأ الله من وَضعه وقبح من يشين الشَّرِيعَة بِمثل هَذَا التَّخْلِيط الْبَارِد وَالْكَلَام الَّذِي لَا يَلِيق بالرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا بالصحابة، وَالْمُتَّهَم بِهِ عبد الْمُنعم بن إِدْرِيس.
Ini adalah hadits palsu mustahil, semoga Allah memberi balasan setimpal bagi pemalsunya, dan semoga Allah menghinakan orang yang mencemari syari’at dengan hadits-hadits seperti ini yang penuh dengan kerancuan, dan perkataan yang tidak pantas bagi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga sahabatnya. Dan yang diduga memalsukan hadits ini adalah Abdul Mun’im bin Idris.
Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah– (w.241H) berkata: (كَانَ يكذب على وهب) “Ia memalsukan hadits dari Wahb”.
Yahya bin Ma’in –rahimahullah– (w.233H) berkata: (كَذَّاب خَبِيث) “Ia seorang pendusta yang sangat buruk”.
Ibnu Al-Madiniy (w.234H) dan Abu Daud (w.275H) –rahimahumallah– mengatakan: (لَيْسَ بِثِقَة) Ia tidak tsiqah”
Ibnu Hibban –rahimahullah– (w.354H) berkata: (لَا يَحِلُّ الاحْتِجَاجُ بِهِ) “Ia tidak halal untuk dijadikan hujjah”
Ad-Daraquthniy –rahimahullah– (w.385H) mentakatan: (هُوَ وَأَبوهُ مَتْرُوكَانِ) “Ia dan bapaknya ditolak periwayatan haditsnya”.
Al-Haitsamiy –rahimahullah– (w.807H) dalam “Majma’ Az-Zawaid” (9/31) mengatakan:
رواه الطبراني، وفيه عبد المنعم بن إدريس، وهو كذاب وضاع
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy, dan dalam sanadnya ada rawiy yang bernama Abdul Mun’im bin Idris, dan ia adalah seorang pembohong besar dan pemalsu hadits”.
Imam As-Suyuthiy –rahimahullah– (w.911H) dalam kitabnya “Al-La’aali’ Al-Mashnu’ah” (1/257) mengatakan: Hadits ini palsu, dan pemalsunya adalah Abdul Mun’im”
Ibnu ‘Iraq Al-Kinaniy –rahimahullah– (w.963H) mengatakan dalam kitabnya “Tanziih Asy-Syari’ah” (1/331): “Abdul Mun’im bin Idris adalah orang yang diduga memalsukan hadits ini”.
Kesimpulan:
Sanad kisah ini palsu dan memiliki tiga cacat:
- Abdul Mun’im bin Idris bin Sinaan Al-Yamaniy[1] tidak pernah mendengar hadits dari bapaknya satu riwayat pun.
- Periwayatan hadits dari Abdul Mun’im sangat lemah dan dituduh sebagai pemalsu hadits; Al-Bukhari dan Abu Ahmad Al-Hakim berkata: ذاهب الحديث (haditsnya sangat lemah). Al-Fallaas berkata: Periwayatannya ditolak (matruuk). Abu Zur’ah berkata: واهي الحديث (haditsnya sangat lemah). Dan Ibnu Hibban berkata: Ia memalsukan hadits dari bapaknya dan selainnya. Adz-Dzahabiy mengatakan: Ia terkenal dengan riwayat kisah-kisah yang tidak bisa dipercaya.Ia wafat tahun 228 hijriyah di Bagdad.
- Idriis bin Sinaan, Abu Ilyas Ash-Shan’aniy[2]. Ibnu ‘Adiy dan Ibnu Hajar berkata: Ia lemah. Ad-Daraquthniy berkata: Haditsnya ditolak (matruuk).
Lantas, Siapakah Yang ingin meng-Qishash Nabi?
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ، رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: بَيْنَمَا هُوَ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ وَكَانَ فِيهِ مِزَاحٌ بَيْنَا يُضْحِكُهُمْ فَطَعَنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَاصِرَتِهِ بِعُودٍ فَقَالَ: أَصْبِرْنِي فَقَالَ: «اصْطَبِرْ» قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ قَمِيصًا وَلَيْسَ عَلَيَّ قَمِيصٌ، «فَرَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَمِيصِهِ، فَاحْتَضَنَهُ وَجَعَلَ يُقَبِّلُ كَشْحَهُ»، قَالَ إِنَّمَا أَرَدْتُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
Berkata kepada kami ‘Amru bin ‘Aun, mengabarkan kami Khalid, dari Hushain, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari USAID BIN HUDHAIR, dia seorang laki-laki dari Anshar: “Ketika dia (Usaid bin Hudhair) sedang berbicara dengan kaumnya dan di dalamnya ada canda yang membuat mereka tertawa, maka Nabi ﷺ memukul pinggangnya dengan sebatang kayu. Maka dia (Usaid bin Hudhair) berkata, ‘Beri saya kesempatan untuk qishash (membalas setimpal).” Beliau ﷺ bersabda, “Silakan membalas.”
Dia berkata, “Engkau memakai baju, sedangkan saya (ketika Engkau pukul) tidak memakai baju.” Maka Rasulullah ﷺ mengangkat bajunya. Maka dia (Usaid bin Khudair) langsung memeluknya dan mencium pinggangnya. Lalu dia berkata, ‘Inilah yang aku inginkan, wahai Rasulullah.” Hadits ini dikelurkan oleh: Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kitabul Adab, Bab fi Qublatil Jasad 5224 Imam Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 556 Imam Al Baihaqi, Syu’abul Iman, Bab Maa Ja’a fi Qublatil Jasad 13586 Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah Bab Al Qishahsh fil Athraf, 10/169 Imam Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, 3/288 Tinjauan Sanad:
1. ‘Amru bin ‘Aun. Beliau adalah seorang al-hafizh dan imam. Para ulama mengambil hadits darinya, seperti Bukhari, Abu Daud, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ali Al-Baghawi, Ad Darimi, dan banyak lainnya. Para ulama menyatakan beliau adalah TSIQAH, seperti Abu Hatim, Abu Zur’ah, Al ‘Ijli. (Siyar A’lamin Nubala: 8/377)
2. Khalid (Khalid bin Abdullah Al Wasithiy) Beliau TSIQAH, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Sa’ad, dan lainnya. (Tahdzibut Tahdzib: 3/100).
3. Hushain (Hushain bin Abdurrahman As Salamiy) Terjadi perselisihan para imam tentang beliau. Disebutkan bahwa beliau salah satu imam. Imam Ahmad mengatakan TSIQAH (terpercaya) dan amanah. Al-‘Ijli mengatakan tsiqah dan kokoh. Ibnu Abi Hatim bertanya kepada Abu Zur’ah dan beliau berkata, “Dia tsiqah.” Apakah dia hujjah? Abu Zur’ah menjawab: “Ya, Demi Allah!” Namun, An-Nasa’i mengatakan, “Hafalannya berubah.” Abu Hatim berkata, “Tsiqah, tapi hapalannya buruk di akhir hayatnya.” Yazid bin Harun mengatakan, “Yakhtalith (hapalannya kacau).” Ali mengatakan, “lam yakhtalith (tidak kacau),” (Mizanul I’tidal: 1/552)
4. Abdurrahman bin Abi Laila Beliau tsiqah, orang Kufah, dan dipakai oleh penyusun enam kitab hadits (Kutubus Sittah). Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr dalam Syarh Sunan Abi Daud.
5. Usaid bin Hudhair Beliau seorang sahabat Nabi senior, ikut dalam Bai’at ‘Aqabah, ikut pula perang Badar, dan semua sahabat Nabi adalah tsiqah dan ‘adil menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jadi, semua perawi hadits ini tsiqah, tetapi sanadnya terputus (inqitha’), yaitu pada “Abdurrahman bin Abi Laila dari Usaid bin Hudhair.” Benarkah Abdurrahman bin Abi Laila mendengarkan hadits ini dari Usaid bin Hudhair? Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abi Laila tidak pernah mendengarkan hadits dari Usaid bin Hudhair. (Tahdzib At Tahdzib: 6/260). Imam Abu Abdillah Dhiya’uddin Al-Maqdisi memasukkan hadits ini dalam kategori “isnaduhu munqathi’ (sanadnya terputus)”. Beliau berkata, “Aku tidak tahu, benarkah Abdurrahman bin Abi Laila mendengarkan hadits ini dari Usaid bin Hudhair ataukah tidak?” (Al Ahadits Al Mukhtarah: 1471) Dan, kita tahu bahwa hadits yang sanadnya inqitha’ adalah dhaif. Namun, hadits ini memiliki syahid (penguat) yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, dengan sanad: “… dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari AYAHNYA, dari Usaid bin Hudhair.” Dan Imam Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini SHAHIH, dan Imam Adz-Dzahabi dalam At Talkhish-nya menyepakati pensahihan Imam Al-Hakim,” (Lihat Al Mustadrak: 3/327).
Jadi, riwayat ini menunjukkan bahwa hadits ini maushul (bersambung sanadnya), bukan terputus antara Abdurrahman bin Abi Laila dari Usaid bin Hudair, tetapi dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari AYAHNYA yakni Abi Laila dari Usaid bin Hudhair. Oleh karenanya, akhirnya para muhaddits menilai bahwa hadits ini SAHIH semisal Syaikh Syu’aib Al-Arnauth yang mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai syarat Syaikhain/Al-Bukhari dan Muslim,” (Ta’liq Musnad Ahmad: 17/329. Catatan kaki hadits No. 11229) Juga Syaikh Al Albani di dalam Misykah No. 4675 dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2554.
Nasihat:
Hendaknya kita Berhati-hatilah dalam menerima dan menyebarkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika tidak tahu kebenarannya maka jangan disebarkan. Khawatirlah jangan sampai tergolong sebagai pemalsu hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ» [مقدمة صحيح مسلم]
“Barangsiapa yang menyampaikan satu hadits dariku dan diketahui (atau ia mengetahui) bahwa itu adalah kebohongan, maka ia adalah salah seorang pembohong”. [Muqaddimah Sahih Muslim]
Wallahu a’lam!
sumber : https://umar-arrahimy.blogspot.com/2017/11/kisah-palsu-sebelum-wafat-nabi-bersama.html
dengan beberapa perubahan.
[1] Lihat biografi “Abdul Mun’im bin Idris” dalam kitab: Adh-Dhu’afaa’ karya An-Nasa’i hal.210, Adh-Dhu’afaa’ Al-Kabiir karya Al-‘Uqaily 3/112, Al-Majruhiin karya Ibnu Hibban 2/157, Al-Kaamil karya Ibnu ‘Adiy 7/35, Adh-Dhu’afaa’ karya Ad-Daruquthniy 2/163, Adh-Dhu’afaa’ karya Ibnu Al-Jauziy 2/154, Miizaan Al-I’tidaal karya Adz-Dzahabiy 2/668, Lisaan Al-Miizaan karya Ibnu Hajar 5/279.
[2] Lihat biografi “Idriis bin Sinaan” dalam kitab: Al-Kaamil 2/34, Adh-Dhu’afaa’ karya Ad-Daruquthniy 1/259, Adh-Dhu’afaa’ karya Ibnu Al-Jauziy 1/93, Tahdziib Al-Kamaal karya Al-Mizziy 2/298, Miizaan Al-I’tidaal 1/169, Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal.97.