We love Jesus
Sundays 8:15am, 10am, 11:45pm
330 East 4th Street Fort Worth, TX 76102
Connecting
Our Ministries
Nam rutrum sapien vitae nibh vulputate, in suscipit urna mollis. Fusce ut dapibus ante, ut dapibus sapien. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos himenaeos. Vivamus sed orci rhoncus, cursus magna quis, scelerisque justo
Meet Us
Our Team
David Kowalsky Families Pastor
Ryan Anderson Global Initiatives
John Hedge Counseling
Billy Mccabe Worship & Arts Director
Bruce Magic Lead Pastor
Paul Kovalik Families Pastor
Read with Love
The Blog
-
Sengaja Tidak Shalat Jum’at, Apa Hukumnya?
Categories: ArtikelMeninggalkan shalat Jum’at sudah menjadi hal biasa bagi sebagian orang. Sampai seringkali meninggalkannya. Padahal shalat ini adalah kewajiban yang tidak perlu lagi disangsikan. Dalil pendukungnya pun dari Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Maka sudah barang tentu yang meninggalkannya akan menuai petaka yang menimpa jasad dan lebih parah lagi akan merusak hatinya.
Kewajiban shalat Jum’at ditunjukkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al Jum’ah: 9). Kata kebanyakan pakar tafsir, yang dimaksud ‘dzikrullah’ atau mengingat Allah di sini adalah shalat Jum’at. Sa’id bin Al Musayyib mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mendengar nasehat (khutbah) pada hari Jum’at. (Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 8: 265)
Dikuatkan lagi dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067. Kata Syaikh Al Albani, hadits ini shahih)
Begitu pula disebutkan dalam sabda lainnya,
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Pergi (shalat) Jum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah.” (HR. An Nasai no. 1371. Kata Syaikh Al Albani, hadits ini shahih)
Lalu bagaimana jika seseorang meninggalkan shalat Jum’at? Apa akibat yang menimpa dirinya?
Guru kami, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrok hafizhohullah ditanya, “Apa akibat yang diperoleh orang yang tidak menghadiri shalat Jumat? Apa hadits yang menerangkan hal tersebut?
Jawab Syaikh hafizhohullah,
Shalat Jum’at adalah shalat yang wajib bagi orang yang tidak memiliki uzur. Barangsiapa meninggalkannya, ia terjerumus dalam dosa besar. Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena meremehkannya, hatinya akan tertutupi. Dan ia termasuk orang-orang yang lalai. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika beliau memegang tongkat di mimbarnya,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat jumat menghentikan perbuatannya. Atau jika tidak Allah akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan tergolong ke dalam orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim no. 865)
Dalam hadits lain disebutkan,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” (HR. Abu Daud no. 1052, An Nasai no. 1369, dan Ahmad 3: 424. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih). Ini akibat yang menimpa hati. Musibah ini lebih bahaya dari akibat yang menimpa jasad atau kulit seseorang.
Sedangkan hukuman duniawi, hendaklah ulil amri (penguasa) memberi hukuman pula bagi orang yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa ada uzur agar mencegah tindak kejahatan mereka. Hendaklah setiap muslim bertakwa pada Allah, janganlah sampai ia melalaikan kewajiban yang telah Allah wajibkan. Jika seseorang lalai dalam demikian, maka ia akan menuai petaka dari Allah. Jagalah perintah Allah, niscaya pahala Allah akan diraih. Dan Allah akan beri karunia kepada siapa saja yang Dia kehendaki. [Sumber fatwa: ahlalhdeeth.com]
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
—
@ Ummul Hamam, Riyadh-KSA, 13 Muharram 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: https://muslim.or.id/14060-akibat-meninggalkan-shalat-jumat.html
-
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu!
Categories: ArtikelSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]
Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan, hak-hak, perintah, dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah). Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari batasan-batasan Allah sebagaimana yang Allah puji dalam kitab-Nya,
هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (٣٢)مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (٣٣)
“Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada Setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya), (yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaaf: 32-33). Yang dimaksud dengan menjaga di sini adalah menjaga setiap perintah Allah dan menjaga diri dari berbagai dosa serta bertaubat darinya.[2]
Menjaga Hak Allah
Di antara bentuk penjagaan hak Allah sebagai berikut.
Pertama: Menjaga shalat
Yang utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu yang wajib sebagaimana yang Allah firmankan,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (٢٣٨)
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar)[3]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 238). Yang dimaksud shalat wustho di sini adalah shalat Ashar menurut kebanyakan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras orang yang meninggalkan shalat Ashar sebagaimana dalam sabdanya,
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka hapuslah amalannya.”[4]
Allah Ta’ala pun memuji orang-orang yang menjaga shalatnya dalam ayat lainnya,
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS. Al Ma’arij: 34)
Begitu pula termasuk dalam hal ini adalah dengan menjaga thoharoh (bersuci) karena thoharoh adalah pembuka shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ
“Tidak ada yang selalu menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin.”[5]
Kedua: Menjaga kepala dan perut
Begitu pula kita diperintahkan untuk menjaga kepala dan perut. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى
“Sifat malu pada Allah yang sebenarnya adalah engkau menjaga kepalamu dan setiap yang ada di sekitarnya, begitu pula engkau menjaga perutmu serta apa yang ada di dalamnya.”[6] Yang dimaksud menjaga kepala dan setiap apa yang ada di sekitarnya, termasuk di dalamnya adalah menjaga pendengaran, penglihatan dan lisan dari berbagai keharaman. Sedangkan yang dimaksud menjaga perut dan segala apa yang ada di dalamnya, termasuk di dalamnya adalah menjaga hati dari terjerumus dalam yang haram.[7] Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 235)
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’: 36)
Ketiga: Menjaga lisan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِى مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang menjamin padaku apa yang ada di antara dua janggutnya (yaitu bibirnya) dan antara dua kakinya (yaitu kemaluan), maka ia akan masuk surga.”[8]
Keempat: Menjaga kemaluan
Allah memuji orang-orang yang menjaga kemaluan dalam beberapa ayat. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat“.” (QS. An Nur: 30)
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.” (QS. Al Mu’minun: 5-6)[9]
Yang lebih penting dari hal di atas dan merupakan hak Allah yang paling utama untuk dijaga adalah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya (baca: berbuat syirik). Karena syirik adalah kezholiman yang teramat besar. Luqman pernah berkata pada anaknya,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezholiman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membonceng Mu’adz dengan keledai -yang bernama ‘Ufair-, beliau bersabda,
« يَا مُعَاذُ ، هَلْ تَدْرِى حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ » . قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ « فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا »
“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib ditunaikan oleh hamba-Nya dan apa hak hamba yang berhak ia dapat dari Allah?” Mu’adz mengatakan, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba adalah mereka harus menyembah Allah dan tidak boleh berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan hak hamba yang berhak ia dapat adalah Allahh tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apa pun.”[10] Inilah hak Allah yang mesti dan wajib ditunaikan oleh setiap hamba sebelum hak-hak lainnya.
Siapa yang Menjaga Hak Allah, maka Allah akan Menjaganya
Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan, maka ia akan mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala.
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”
Inilah yang dimaksud al jaza’ min jinsil ‘amal, yaitu balasan sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana Allah mengatakan dalam ayat-ayat lainnya.
وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ
“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (Al Baqarah: 40)
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (Al Baqarah: 152)
إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (Muhammad: 7)
Bentuk Penjagaan Allah
Jika seseorang menjaga hak-hak Allah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka Allah pun akan selalu menjaganya. Bentuk penjagaan Allah ada dua macam, yaitu:
Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
[Penjagaan melalui Malaikat Allah]
Di antara bentuk penjagaan Allah adalah ia akan selalu mendapatkan penjagaan dari malaikat Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ro’du: 11). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap hamba memiliki malaikat yang selalu menemaninya. Malaikat tersebut akan menjaganya siang dan malam. Mereka akan menjaganya danri berbagai kejelekan dan kejadian-kejadian.”[11] Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Mereka adalah para malaikat yang akan selalu menjaganya atas perintah Allah. Jika datang ajal barulah malaikat-malaikat tadi meninggalkannya.” Inilah salah bentuk penjagaan Allah melalui para malaikat bagi orang yang selalu menjaga hak-hak Allah.
[Penjagaan di Kala Usia Senja]
Begitu pula Allah akan menjaga seseorang di waktu tuanya, jika ia selalu menjaga hak Allah di waktu mudanya. Allah akan menjaga pendengaran, penglihatan, kekuatan dan kecerdasannya. Inilah maksud yang kami singgung dalam judul artikel ini.
Sebagaimana kami pernah membaca dalam salah satu buku fiqh madzhab Syafi’i, matan Abi Syuja’. Dalam buku tersebut diceritakan mengenai penulis matan yaitu Al Qodhi Abu Syuja’ (Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Asy Syafi’i rahimahullah Ta’ala). Perlu diketahui bahwa beliau adalah di antara ulama yang meninggal dunia di usia sangat tua. Umur beliau ketika meninggal dunia adalah 160 tahun (433-596 Hijriyah). Beliau terkenal sangat dermawan dan zuhud. Beliau sudah diberi jabatan sebagai qodhi pada usia belia yaitu 14 tahun. Keadaan beliau di usia senja (di atas 100 tahun), masih dalam keadaan sehat wal afiat. Begitu pula ketika usia senja semacam itu, beliau masih diberikan kecerdasan. Tahukah Anda apa rahasianya? Beliau tidakk punya tips khusus untuk rutin olahraga atau yang lainnya. Namun perhatikan apa tips beliau, “Aku selalu menjaga anggota badanku ini dari bermaksiat pada Allah di waktu mudaku, maka Allah pun menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Cobalah lihat, beliau bukanlah memberikan kita tips untuk banyak olahraga. Namun apa tips beliau? Yaitu taat pada Allah dan menjauhi segala maksiat di waktu muda.[12]
Ibnu Rajab rahimahullah juga pernah menceritakan bahwa sebagian ulama ada yang sudah berusia di atas 100 tahun. Namun ketika itu, mereka masih diberi kekuatan dan kecerdasan. Coba bayangkan bagaimana dengan keadaan orang-orang saat ini yang berusia seperti itu? Diceritakan bahwa di antara ulama tersebut pernah melompat dengan lompatan yang amat jauh. Kenapa bisa seperti itu? Ulama tersebut mengatakan, “Anggota badan ini selalu aku jaga agar jangan sampai berbuat maksiat di kala aku muda. Balasannya, Allah menjaga anggota badanku ini di waktu tuaku.” Namun ada orang yang sebaliknya, sudah berusia senja, jompo dan biasa mengemis pada manusia. Para ulama pun mengatakan tentang orang tersebut, “Inilah orang yang selalu melalaikan hak Allah di waktu mudanya, maka Allah pun melalaikan dirinya di waktu tuanya.”[13]
[Penjagaan pada keturunan]
Begitu pula Allah akan menjaga keturunan orang-orang sholih dan selalu taat pada Allah. Di antaranya kita dapat melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat penjagaan Allah karena ayahnya adalah orang yang sholih. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan, “Barangsiapa seorang mukmin itu mati (artinya: ia selalu menjaga hak Allah, pen), maka Allah akan senantiasa menjaga keturunan-keturunannya.”
Sa’id bin Al Musayyib mengatakan pada anaknya, “Wahai anakku, aku selalu memperbanyak shalatku dengan tujuan supaya Allah selalu menjagamu.”[14]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah, maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan.” Sebagian salaf mengatakan, “Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri. Allah sama sekali tidak butuh padanya.”
Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan tungganganku.”[15]
Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang diharamkan. Inilah penjagaan yang lebih luar biasa dari penjagaan pertama tadi.
Hal ini dapat kita lihat sebagaimana dalam doa sebelum tidur yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِى وَبِكَ أَرْفَعُهُ ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِى فَاغْفِرْ لَهَا ، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
“Dengan menyebut nama-Mu, aku meletakkan lambungku, dan dengan nama-Mu aku mengangkatnya. Jika engkau ingin menarik jiwaku, maka ampunilah ia. Jika engkau ingin membiarkannya, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga hamba-hambaMu yang sholih”[16] Dalam do’a ini terlihat bahwa Allah akan senantiasa menjaga orang-orang yang sholih.[17]
Demikian pembahasan yang singkat dari hadits di atas. Semoga hadits ini bisa selalu menjadi pengingat dalam setiap langkah kita. Jagalah hak Allah, niscaya Allah akan menjagamu.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. (***)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber : www.muslim.or.id
[1] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad 1/303. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 223, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[3] Yang dimaksud shalat wusthaa terdapat lima pendapat. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah shalat Ashar. Ada juga yang mengatakan bahwa itu adalah shalat Shubuh, Zhuhur, Maghrib atau Isya (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 1/241, Mawqi’ At Tafaasir).
Namun kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang dimaksud shalat wustha adalah shalat Ashar sebagaimana banyak yang meriwayatkan hal ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memilih pendapat ini adalah ‘Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibrahim An Nakhoi, Qotadah dan Al Hasan (Lihat Ma’alimut Tanzil, Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, 1/288, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H)
[4] HR. Bukhari no. 553, dari Buraidah.
[5] HR. Ibnu Majah no. 277, dari Tsauban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] HR.. Tirmidzi no. 2458, dari Abdullah bin Mas’ud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[7] Demikian penjelasan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 224.
[8] HR. Bukhari no. 6474, dari Sahl bin Sa’ad.
[9] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 223-224.
[10] HR. Bukhari no. 2856 dan Muslim no. 30.
[11] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/114, Muassasah Qurthubah.
[12] Demikian cerita yang kami peroleh dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Matan Al Ghoyah wat Taqrib, yang memberikan syarh terhadap Matan Abi Syuja’ (Ikhtishorul Ghoyah).
[13] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225.
[14] Idem.
[15] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 225-226.
[16] HR. Bukhari no. 7393 dan Muslim no. 2714.
[17] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 226.
-
Awas, Ada Judi Dalam Perlombaan!
Categories: ArtikelAsal perlombaan adalah dibolehkan. Hal ini dibuktikan dalam beberapa hadits dan juga klaim ijma’ (kesepakatan para ulama). Apalagi jika lomba tersebut sebagai persiapan untuk jihad seperti lomba memanah atau pacuan kuda, para ulama sepakat akan sunnahnya, bahkan hal ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka. Bahkan kadangkala hukum melakukan lomba memanah dan pacuan kuda bisa jadi wajib (fardhu kifayah) di kala diwajibkannya jihad.
Mengenai persiapan jihad, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat” (QS. Al Anfal: 60). Yang dimaksud dengan kekuatan apa saja, ditafsirkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memanah (HR. Muslim no. 1917).
Namun perlu dipahami bahwa perlombaan atau musabaqoh itu ada dua macam: dengan taruhan dan tanpa taruhan.
Perlombaan Tanpa Taruhan
Hukum asalnya boleh berlomba tanpa taruhan seperti lomba lari, perahu, balapan burung, keledai, gajah dan lomba tombak. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) membolehkan setiap perlombaan yang tanpa taruhan secara mutlak.
Ibnu ‘Abidin –salah seorang ulama Hanafiyah- berkata,
وَأَمَّا السِّبَاقُ بِلَا جُعْلٍ فَيَجُوزُ فِي كُلِّ شَيْءٍ
“Adapun perlombaan tanpa taruhan, itu boleh dalam berbagai macam bentuknya.” (Roddul Muhtar, 27: 20, Asy Syamilah)
Ibnu Qudamah –ulama Hambali- berkata,
وَالْمُسَابَقَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ ؛ مُسَابَقَةٌ بِغَيْرِ عِوَضٍ ، وَمُسَابَقَةٌ بِعِوَضٍ . فَأَمَّا الْمُسَابَقَةُ بِغَيْرِ عِوَضٍ ، فَتَجُوزُ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ
“Perlombaan itu ada dua macam: perlombaan tanpa taruhan dan dengan taruhan. Adapun perlombaan tanpa taruhan, itu boleh secara mutlak tanpa ada pengkhususan ada yang terlarang.” (Al Mughni, 11: 29)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (15: 79) disebutkan,
فإن كانت المسابقة بغير جعل فتجوز من غير تقييد بشيء معيّن
“Jika musabaqoh (perlombaan) dilakukan tanpa adanya taruhan, itu boleh pada setiap bola tanpa pengkhususan.”
Dalil dari penjelasan di atas adalah hadits dari ‘Aisyah di mana ia pernah berlomba lari bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adanya taruhan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan bahwa,
أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Penjelasan di atas adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Ulama Hanafiyah memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Mereka memberi syarat lomba yang dibolehkan hanyalah pada empat lomba, yaitu lomba pacuan kuda, pacuan unta dan memanah, ditambah lomba lari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Huraihah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak boleh memberi hadiah dalam perlombaan kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi, no. 1700; An-Nasai, no. 3615; Abu Daud, no. 2574; Ibnu Majah, no. 2878. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan dalam ta’liq beliau terhadap Jami’ At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 1506, 5:333 mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, seluruh perawinya tsiqqah).
Mengenai dalil bolehnya lomba lari diambil dari hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan. Artinya, perlombaan selain empat lomba yang telah disebutkan asalnya adalah haram menurut ulama Hanafiyah. Dikeluarkan dari haram karena ada dalil pengecualian.
Perlombaan dengan Taruhan
Perlombaan dengan taruhan asalnya masih dibolehkan. Namun yang dibolehkan di sini adalah khusus pada lomba tertentu, tidak untuk setiap lomba. Jumhur berpendapat tidak bolehnya lomba dengan taruhan selain pada lomba memanah, pacuan kuda, dan pacuan unta. Demikian pula dikatakan oleh Az Zuhri.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lomba hanya boleh dalam empat hal, yaitu lomba pacuan kuda, pacuan unta, memanah dan lomba lari sebagaimana keterangan di atas.
Ulama Syafi’iyah meluaskan lagi perlombaan yang dibolehkan dengan taruhan pada setiap lomba yang nanti berperan serta dalam jihad. Adapun lomba adu ayam, burung, dan domba tidaklah termasuk dalam hal ini dan jelas tidak dibolehkan karena bukan termasuk sarana untuk jihad (Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah). Imam Nawawi dalam Minhajul Tholibin berkata, “Segala lomba yang mendukung peperangan (jihad) dibolehkan dengan taruhan.”
Termasuk pula lomba yang dibolehkan dengan taruhan adalah lomba hafalan Qur’an dan lomba ilmiah dalam agama.
Ibnul Qayyim rahimahullah ditanya, “Apakah boleh melakukan perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits, fikih dan ilmu yang bermanfaat lainnya yang ditentukan manakah yang benar manakah yang salah dan perlombaan tersebut menggunakan taruhan?”
Kata Ibnul Qayyim, “Pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i melarang hal tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah membolehkannya. Guru kami, begitu pula Ibnu ‘Abdil Barr dari ulama Syafi’iyah membolehkan hal ini. Perlombaan menghafal Qur’an tentu saja lebih utama dari lomba berburu, bergulat, dan renang. Jika perlombaan-perlombaan tadi dibolehkan, maka tentu saja perlombaan menghafal Al Qur’an (dengan taruhan) lebih utama untuk dikatakan boleh.” (Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 318)
Ibnul Qayyim di tempat lain berkata, “Jika taruhan dibolehkan dalam memanah, pacuan kuda dan pacuan kita karena terdapat dorongan untuk belajar pacuan dan sebagai persiapan untuk jihad, maka tentu saja lomba dalam hal ilmu diin (agama) dan penyampaian hujjah padahal dengan itu akan membuka hati dan memuliakan Islam, maka itu lebih layak dibolehkan.” (Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hlm. 97)
Bentuk Taruhan
Untuk lomba yang dibolehkan dengan taruhan seperti yang disebutkan sebelumnya, ada syarat taruhan yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Taruhan harus jelas dalam hal jumlah dan sifat (ciri-ciri).
- Boleh taruhan dibayarkan saat lomba atau boleh sebagiannya ditunda (dicicil).
- Taruhan tersebut bisa jadi ditarik dari salah satu peserta dari dua peserta yang ikut lomba. Salah satunya mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam lomba memanah, maka saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Ini dibolehkan dan tidak ada khilaf di antara para ulama dalam pembolehan bentuk taruhan semacam ini. Namun ingat sekali lagi bentuk ini berlaku antara dua orang atau dua kelompok.
- Taruhan tersebut bisa pula ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas Negara (baitul maal). Karena lomba semacam ini jelas manfaatnya dan turut membantu dalam pembelajaran jihad sehingga bermanfaat luas bagi orang banyak.
Bisa pula taruhan tersebut berasal dari iuran peserta (yang lebih dari dua peserta), seperti masing-masing misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.100.000 dan hadiah untuk pemenang akan ditarik dari iuran tersebut. Bentuk ketiga ini disebut rihan (taruhan). Jumhur ulama tidak membolehkan taruhan semacam ini dan termasuk judi yang diharamkan karena ada pihak yang rugi dan ada yang beruntung. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 24:128-129)
Taruhan yang Berbau Judi
Perlombaan selain yang disebutkan di atas seperti perlombaan bola, balapan motor, perlombaan catur yang menggunakan taruhan dengan dipungut dari iuran peserta, ini jelas terlarang karena bukan bertujuan untuk menegakkan agama Allah atau jalan melatih untuk berjihad. Bahkan perlombaan semacam itu termasuk dalam bentuk perjudian yang jelas haramnya. Jelaslah bagaimana bentuk perjudian saat ini yang dikemas dengan berbagai trik. Seperti lomba voli yang diikuti peserta dengan syarat setiap peserta membayar uang pendaftaran Rp.100.000 lalu hadiahnya dipungut dari uang pendaftaran tersebut, ini jelas masuk dalam judi.
Sedangkan taruhan yang dilakukan di antara sesama penonton (misal dari para penonton pacuan kuda atau memanah), tidak dibolehkan dalam perlombaan yang masuk kategori boleh dengan taruhan. Karena yang boleh memakai taruhan di sini adalah sesama para peserta sebagaimana penjelasan di atas.
Bahaya Judi
Hati-hatilah dengan judi, wahai saudaraku! Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
Lihatlah permusuhan sesama muslim bisa muncul akibat judi. Judi pun benar-benar telah memalingkan dari dzikrullah. Sadarilah!
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maidah: 91)
Bahkan judi itu lebih berbahaya dari riba. Sebagaimana Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
إنّ مفسدة الميسر أعظم من مفسدة الرّبا لأنّه يشتمل على مفسدتين : مفسدة أكل المال بالحرام , ومفسدة اللّهو الحرام , إذ يصد عن ذكر اللّه وعن الصّلاة ويوقع في العداوة والبغضاء , ولهذا حرّم الميسر قبل تحريم الرّبا .
“Kerusakan maysir (di antara bentuk maysir adalah judi) lebih berbahaya dari riba. Karena maysir memiliki dua kerusakan: (1) memakan harta haram, (2) terjerumus dalam permainan yang terlarang. Maysir benar-benar telah memalingkan seseorang dari dzikrullah, dari shalat, juga mudah timbul permusuhan dan saling benci. Oleh karena itu, maysir diharamkan sebelum riba.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406)
Maysir yang disebutkan dalam ayat di atas sebenarnya lebih umum dari judi. Kata Imam Malik rahimahullah, “Maysir ada dua macam: (1) bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39:406).
Kriteria Disebut Judi
- Ada dua belah pihak atau lebih yang bertaruh.
- Yang dipertaruhkan adalah harta (uang, emas, perak, rumah, tanah, atau sesuatu yang ada nilainya).
- Harus ada sebuah aktivitas yang menghasilkan menang dan kalah. Karena hakikatnya yang kalah bayarkan ke yang menang.
- Yang menang berhak mengambil hartanya yang kalah, lalu yang kalah siap rela kehilangan hartanya.
Demikian bahasan kami seputar hukum taruhan. Moga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. (***)
Sumber https://rumaysho.com/2126-taruhan-dan-judi-dalam-lomba.html
Are you free this Sunday?
COME AND JOIN US
330 East 4th StreetFort Worth, TX 76102
- Tel: +32 (0) 55 30 14 44
- Fax: +32 (0) 55.30.14.8
- info@bethlehem.com
Parking is in the garage on 4th with entrances on Jones and Calhoun. Entrance to the Van Cliburn Hall is on 4th and Calhoun, adjacent from the Bass Hall.